MARSINI KOMUNITAS BUDAYA
Franz Magnis Suseno
Prof. Dr. Dr.-h.c. Franz Magnis-Suseno, SJ (nama asli: Franz Graf von Magnis atau nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis (lahir di Eckersdorf, Silesia, Jerman-Nazi (kini Bożków, Nowa Ruda, Polandia), 26 Mei 1936; umur 76 tahun) adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan Indonesia. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Magnis-Suseno juga dikenal sebagai seorang Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Sebagai seorang pastur Magnis-Suseno memiliki panggilan akrab Romo Magnis.
Magnis-Suseno datang ke Indonesia pada tahun 1961 pada usia 25 tahun[1] untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Tiba di Indonesia, dia langsung mempelajari bahasa Jawa untuk membantunya berkomunikasi dengan warga setempat. Setelah ditahbiskan menjadi Pastor, ia ditugaskan untuk belajar filsafat di Jerman sampai memperoleh gelar doktor di bidang filsafat dengan disertasi mengenai Karl Marx.
Sebelum menjadi warganegara Indonesia pada tahun 1977, Magnis-Suseno adalah seorang warga Jerman yang bernama Franz Graf von Magnis. Saat berganti kewarganegaraan, dia menambahkan 'Suseno' di belakang namanya.
Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel. Buku "Etika Jawa" dituliskan setelah ia menjalani sabbatical year di Paroki Sukoharjo Jawa Tengah. Buku lain yang sangat berpengaruh adalah "Etika politik" yang menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan ilmu politik di Indonesia. Magnis dikenal kalangan ilmiah sebagai seorang cendekiawan yang cerdas dan bersahabat dengan semua orang tanpa pandang bulu. Banyak kandidat doktor yang merasa dibantu dalam menyelesaikan disertasinya.
Franz Magnis mendapat gelar doktor kehormatan di bidang teologi dari Universitas Luzern, Swiss.

Nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Selain dikenal sebagai Rohaniawan sekaligus budayawan, pria kelahiran Eckersdorf, Silesia, Jerman-Nazi (kini Bozków, Nowa Ruda, Polandia), 26 Mei 1936 ini adalah tokoh Indonesia yang memperjuangkan paham pluralisme dan kebebasan beragama.
Magnis muda datang ke Indonesia pada tahun 1961 pada usia 25 tahun untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Selama studi, Magnis muda mempelajari bahasa Jawa untuk memudahkannya berkomunikasi dengan warga setempat.
Bukan hanya bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari, bahasa Jawa Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) yang biasa digunakan di kalangan keraton pun ia pelajari. Tak heran, Magnis sangat fasih berbahasa Jawa. Usai ditasbihkan menjadi Pastor dan dipanggil dengan sebutan Romo Magnis, ia meminta Dewan Gereja Roma untuk menempatkannya di Indonesia, “Saya sangat tertarik dengan negeri ini, di Jerman sudah banyak filsuf, dan ilmu saya tentu lebih berguna kalau saya tinggal di Indonesia.” kata Romo Magnis.
Tahun 1977, setelah tujuh tahun menunggu proses perijinan, Romo Magnis resmi menjadi Warga Negara Indonesia dan menambahkan ‘Suseno’ di belakang namanya. Sejak itu namanya cukup disebut Romo Magnis Suseno. Romo pernah menjadi guru agama di Kolese SMA Kanisius merangkap Kepala Asrama Siswa. Di tahun 1969, Romo Magnis bersama sejumlah rekannya ditugasi mendirikan perguruan tinggi yang kelak dikenal sebagai Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
Sekarang ia menjabat ia menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana STF Driyarkara. Ia diangkat menjadi guru besar di sekolah itu pada 1996. Sebelumnya pada tahun 1973 ia mendalami studi filsafat, teologi moral, dan teori politik di Ludwig-Maximilians, Universitas Munchen, Jerman, hingga mencapai gelar doktor filsafat pada dengan predikat summa cum laude. Sepanjang hidupnya Romo Magnis diisi dengan mengajar di banyak universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia dosen luar biasa pada Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia sejak 1990 sampai sekarang. Pada tahun 2000 ia menjadi dosen tamu di Hochschuke fur Philosophie, Munchen. Dan pada 2002 ia menerima gelar Doktor Teologi Honoris Causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss.
Magnis-Suseno juga menerima bintang jasa Satyalancana Dundyia Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada 1986 dan Das grobe Verdienstkreuz des Verdienstordens dari Republik Federasi Jerman. Selain terus menulis beratus-ratus artikel di jurnal di suratkabar sejak empat dasawarsa lalu, Franz Magnis-Suseno telah menulis 33 buku berbahasa Indonesia dan dua judul berbahasa Inggris. Salah satu karyanya, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, pernah menimbulkan kontroversi ketika pertama kali terbit (1999). Sekelompok orang merazianya di sejumlah toko buku, selain berdemonstrasi dengan cara membakarnya di muka publik. Kala itu dia dianggap menyebarkan ide-ide Marx yang dinyatakan terlarang. Tapi kontroversi akibat kesalahpahaman itu berhenti, dan buku tersebut kemudian dicetak-ulang beberapa kali.
Romo Magnis dikenal sebagai sosok pastor yang santun, sederhana, pembela kaum tertindas, dan pengusung kesetaraaan hak. Di sisi lain, dia juga gemar menyuarakan dan mengadakan dialog lintas agama sehingga ia memiliki banyak sahabat tokoh muslim Indonesia. Belakangan di usianya yang senja, Romo Magnis sering bolak-balik ke Jerman menjadi pembicara di berbagai seminar. Warga Jerman umumnya menanyakan kenyamanan Romo Magnis hidup di Indonesia. Dengan tenang ia berujar bahwa di Indonesia ancaman lalu lintas biasa jauh lebih berbahaya. Kemudian menyusul ancaman kejahatan kriminal biasa. “Tapi, mereka terutama, juga kadang-kadang bertanya apakah saya sebagai Romo Katolik terancam atau tidak. Saya katakan saya tidak terancam. Saya tidak mengkhawatirkan hal itu sama sekali. Dan itu tidak akan terjadi kalau kita tidak kebetulan ada di daerah yang memang perang. Justru, saya akan sangat aman dengan saudara muslim. Dengan masyarakat muslim saya selalu diterima dengan amat baik. Sama sekali saya tidak perlu takut, tidak ada itu orang karena dia seorang pastor katolik lalu dibunuh,” jelas Romo.
Bakrie Award
Tahun 2007 Romo Magnis masuk dalam daftar penerima penghargaan Bakrie Award. Penghargaan ini diberikan setiap tahun oleh Freedom Institute dengan lembaga donor perusahaan Bakrie Brothers, milik pengusaha sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Selain menerima piala, penerima penghargaan Bakrie Awards juga mendapat uang tunai Rp 100 juta. Sebuah jumlah yang menggiurkan. Romo Magnis menerima penghargaan ini untuk bidang pemikiran sosial. Ia dinilai berjasa menyumbang pemikiran sosial kepada Indonesia selama empat puluh tahun. Namun, Romo Magnis menolak penghargaan tersebut, karena menurutnya penghargaan itu berlumuran lumpur Lapindo.
Bakrie Brothers adalah perusahaan induk dari PT Lapindo Brantas. Perusahan inilah yang bertanggung penuh atas tragedi kemanusiaan Lumpur Lapindo yang hingga kini persoalannya masih kusut masai. Tindakan Romo Magnis kemudian diikuti oleh para penerima penghargaan yang lain, seperti Goenawan Muhammad, Sitor Situmorang dan Daoed Joesoef.